Opini  

Sejarah Bisnis Panglong di Kepulauan Riau Abad 19-20

Oleh Dedi Arman
(Peneliti Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Jejak Awal Panglong

Istilah panglong berasal dari bahasa Cina yang berarti “gudang papan.” Namun, di Kepulauan Riau, sebutan ini berkembang menjadi istilah bagi tempat atau perusahaan eksploitasi hutan, khususnya untuk produksi kayu dan arang. Sejak abad ke-19, panglong tumbuh pesat di Bengkalis, Siak, Lingga, dan pulau-pulau kecil lain. Permintaan kayu dan arang dari Singapura, Malaya, dan Hong Kong meningkat tajam, menjadikan pesisir timur Sumatra sebagai salah satu pusat produksi penting di Asia Tenggara.

Perdagangan kayu dari Siak telah dikenal sejak abad ke-16. Kayu dari hutan-hutan di sepanjang Sungai Siak diperdagangkan ke pelabuhan besar seperti Melaka dan Penang, bahkan hingga Jawa. Catatan Eropa menyebutkan kayu Siak tahan lama hingga setengah abad, menjadi bahan utama pembuatan kapal. Ketika Raja Kecik mendirikan Kerajaan Siak pada awal abad ke-18, perdagangan kayu kian terpusat pada elite Melayu. Orang Laut dan Orang Akit tetap menjadi tenaga utama penebangan dan pengangkutan, tetapi otonomi mereka berangsur hilang karena tekanan dari negara dan perusahaan dagang asing.

Memasuki abad ke-19, sistem panglong yang dikelola oleh pengusaha Tionghoa makin memperkuat kontrol atas sumber daya hutan. Panglong bukan sekadar tempat produksi, tetapi sistem ekonomi yang melibatkan jaringan modal, kekuasaan, dan tenaga kerja lintas etnis. Elite kesultanan memberi konsesi menebang kayu kepada pengusaha Tionghoa maupun Eropa. Sebagai imbalan, kerajaan memperoleh pemasukan melalui pajak. Namun, setelah Belanda memperluas kendali kolonial, kesultanan kehilangan otonomi ekonomi. Panglong pun berubah menjadi instrumen kolonial dalam mengatur hutan bakau dan perdagangan arang.

Pada 1858, Sultan Riau-Lingga memberi izin resmi kepada pengusaha Eropa untuk membuka panglong. Data kolonial menunjukkan bahwa pada 1927 tercatat 235 panglong aktif di Keresidenan Riau, dengan 194 di antaranya memproduksi arang (Erman, 2017). Jumlah ini menggambarkan skala besar industri arang pesisir yang menopang ekonomi regional.

Namun, di balik geliat ekonomi tersebut tersimpan kisah getir para buruh kontrak Cina. Mereka direkrut melalui jaringan di Singapura, diikat kontrak kerja tiga tahun, dan tinggal di kongsi sederhana di tepi hutan bakau. Hidup mereka keras, terjebak utang di toko-toko milik taukeh, dan bergantung pada opium untuk bertahan. Laporan Vierhout (1906) di harian De Sumatra Post menyebutkan banyak buruh panglong mengalami eksploitasi berat, sementara pengawasan kolonial nyaris tak ada.

Struktur sosial ekonomi panglong mencerminkan tatanan kolonial Asia Tenggara: modal Tionghoa, tenaga kerja Melayu dan Cina, serta kekuasaan politik kolonial. Meski demikian, panglong juga menjadi ruang pertemuan budaya, di mana hubungan kerja dan solidaritas sosial terbentuk di tengah kerasnya eksploitasi sumber daya.

Dapur Arang: Antara Ekonomi, Ekologi, dan Warisan Budaya

Dapur arang atau charcoal kiln adalah jantung kegiatan panglong. Di Kepulauan Riau, dapur arang berbentuk kubah bata besar tempat kayu bakau dibakar perlahan selama berminggu-minggu hingga menjadi arang. Produk ini menjadi bahan bakar utama rumah tangga dan industri di Singapura, Penang, dan Hong Kong.

Kayu bakau (mangrove) menjadi bahan utama karena menghasilkan arang berkualitas tinggi. Barnard (1998) mencatat, di wilayah Kesultanan Siak terdapat tidak kurang dari 19 jenis kayu yang diekspor untuk pembuatan kapal, sementara 40 spesies pohon bakau ditebang untuk kebutuhan dapur arang. Eksploitasi ini menunjukkan bahwa deforestasi pesisir telah terjadi jauh sebelum wacana lingkungan modern muncul.

Kesultanan Riau-Lingga sejatinya telah memiliki aturan ketat tentang pengelolaan hutan. Dalam Perhimpunan Plakat yang dihimpun Raja Ali Kelana (Junus, 1996), Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi menetapkan bahwa siapa pun yang ingin menebang kayu atau membakar arang harus mendapat izin resmi. Plakat bertanggal 14 Februari 1871 dengan tegas menyebut: “Tiada dapat tiada segala mereka yang bekerja kayu balak atau kayu api atau membakar kayu akan dijadikan arang… hendaklah ada keterangan dari kita. Maka jika tiada demikian itu, niscaya kita rampas serta dihukum yang layak.”

Peraturan tersebut menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam dan mengatur ekonomi sumber daya. Dalam praktiknya, kerajaan berusaha menahan laju eksploitasi sembari mempertahankan kedaulatan atas hasil hutan. Namun, kebijakan kolonial kemudian mengabaikan prinsip tersebut demi kepentingan industri ekspor.

Sumber kolonial abad ke-20 seperti artikel Sunday Tribune (9 Juni 1946) mencatat bahwa sekitar 150 dapur arang di Kepulauan Riau mampu memproduksi 1.000 ton arang per bulan untuk Singapura. Lebih dari 3.000 pekerja menggantungkan hidup dari industri ini. Meski begitu, laporan itu hanya menyoroti Singapura sebagai penerima manfaat utama tanpa melihat kondisi sosial masyarakat Riau sebagai hinterland.

Bukti-bukti lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki praktik pengelolaan yang lebih lestari. Catatan J.G. Schot (1882) menulis bahwa masyarakat menebang pohon secara bergilir dan berpindah lokasi agar hutan dapat tumbuh kembali. Dengan kata lain, kerusakan besar justru muncul ketika sistem konsesi besar-besaran diperkenalkan oleh pihak kolonial dan swasta.

Kini, jejak dapur arang masih bisa ditemukan di berbagai tempat di Kepulauan Riau—dari Batam, Bintan, hingga Lingga. Di Batam, nama-nama seperti Dapur 3, Dapur 6, dan Dapur 12 berasal dari jumlah tungku arang yang pernah berdiri di kawasan itu. Di Bintan terdapat Kampung Tanjung Arang di Kuala Sempang, sementara di Lingga ada Kampung Arang di Desa Tajur. Toponimi-toponimi ini menjadi arsip hidup yang merekam masa ketika dapur arang menjadi pusat ekonomi dan kehidupan masyarakat pesisir.

Warisan tersebut kini membuka peluang baru dalam pengembangan pariwisata berbasis sejarah dan budaya. Dapur arang tak lagi sekadar simbol eksploitasi, tetapi juga monumen ketekunan manusia pesisir yang hidup berdampingan dengan hutan mangrove. Menghidupkan kembali situs-situs ini sebagai cagar budaya bukan hanya menghormati masa lalu, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. **

Exit mobile version